Senja Ramadan 2025 Hari 6: Menyelami Hukum Puasa dengan Ilmu

Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga memahami aturan-aturan yang menyertainya agar ibadah kita tetap sah dan sempurna. Bagaimana jika sisa makanan di mulut tertelan tanpa sengaja? Apakah infus membatalkan puasa? Bagaimana hukum berbuka karena mengira magrib sudah tiba

Dalam kajian Kuliah Senja Ramadan bersama Ustadz Ulul Absor, berbagai pertanyaan seperti ini dibahas secara mendalam berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadis. Yuk, simak penjelasannya agar kita semakin paham dan mantap menjalankan ibadah puasa!

Senja Ramadan 2025 Hari 6: Menyelami Hukum Puasa dengan Ilmu

Dalam lanjutan kajian Program Kuliah Senja Ramadan di Masjid Baiturrahman Genteng, Ustadz Ulul Absor menjelaskan beberapa hukum fiqih yang berkaitan dengan puasa. Salah satu yang dibahas adalah hukum sisa makanan di dalam mulut yang tertelan tanpa sengaja. 

Menurut mayoritas ulama, hal ini tidak membatalkan puasa karena tidak dilakukan dengan sengaja. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi: "Sesuatu yang terjadi di luar kesengajaan tidak dihukumi seperti yang disengaja."

Kewajiban Fidyah bagi Orang yang Pikun

Selanjutnya, Ustadz Ulul Absor membahas tentang seseorang yang tidak bisa berpuasa karena mengalami kepikunan. Jika ia termasuk orang yang mampu, maka diwajibkan baginya membayar fidyah sebesar 1 mud makanan untuk setiap hari yang ditinggalkan. 

Namun, jika ia tergolong tidak mampu, maka kewajiban ini gugur. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 286: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Syekh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan hukum puasa Ramadhan untuk orang pikun dengan berkata :

فَالْمَهْذَرِيُّ أَيْ: الْمُخَرِّفُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ صَوْمٌ، وَلَا إِطْعَامٌ بَدَلَهُ؛ لِفَقْدِ اَلْأَهْلِيَّةِ، وَهِيَ اَلْعَقْلُ

”Orang yang sudah pikun (al-mahdzarī), atau al-mukharrif, tidak diwajibkan berpuasa, dan tidak diwajibkan atasnya membayar penggantinya (fidyah), karena tiadanya ahliyyah (kemampuan/kapasitas) pada dirinya, yaitu akal.” (Ibnu ‘Utsaimin, Al-Syarah Al-Mumti’, 6/323).

Dalam Al-Quran, hukum bagi orang yang pikun berbeda dengan orang tua yang masih memiliki akal sehat tetapi tidak mampu berpuasa. Orang tua yang masih sadar dan berakal sehat tetap termasuk mukallaf (terkena kewajiban syariat), namun jika fisiknya sudah lemah dan tidak sanggup menjalankan puasa, maka ia harus menggantinya dengan fidyah. 

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:  

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ

"Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184).

Sementara menurut Ibnu Abbas menjelaskan maksud ayat tersebut dengan berkata :

ليسَتْ بمَنْسُوخَةٍ؛ هو الشَّيْخُ الكَبِيرُ والمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لا يَسْتَطِيعانِ أنْ يَصُوما، فيُطْعِمانِ مَكانَ كُلِّ يَومٍ مِسْكِينًا

”Ayat ini tidaklah dinasakh (mansūkh). Yang dimaksud dengan ayat ini adalah kakek yang sudah tua (al-syaikh al-kabīr), atau nenek yang sudah tua (al-mar`ah al-kabīrah), yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka mereka berdua ini membayar fidyah untuk setiap harinya satu mud untuk satu orang miskin.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505). (1 mud gandum = 544 gram gandum, lihat ‘Abdul Qadīm Zallūm, Al-Amwāl fī Dawlat Al-Khilāfah, hlm. 54).

Orang lanjut usia yang masih memiliki akal sehat dan fisik yang kuat tetap diwajibkan menjalankan puasa Ramadan. Namun, jika mereka sudah tidak mampu secara fisik, maka mereka dibebaskan dari kewajiban berpuasa, tetapi harus menggantinya dengan membayar fidyah, yaitu memberikan sekitar 600 gram beras atau makanan pokok per hari kepada fakir miskin. 

Berbeda halnya dengan lansia yang telah mengalami kepikunan (al-mukharrif), karena akalnya tidak lagi berfungsi dengan normal, mereka tidak lagi dikenai kewajiban puasa maupun fidyah, sebagaimana orang yang tidak lagi memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab atas amalnya. Wallāhu a’lam.

Hukum Memakai Cotton Bud saat Puasa

Dalam kajian ini juga dijelaskan mengenai hukum memakai cotton bud saat puasa. Penggunaan cotton bud diperbolehkan selama tidak masuk ke dalam bagian yang bisa membatalkan puasa. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh tidak membatalkan puasa kecuali jika sampai ke dalam rongga perut atau otak.

Menurut Imam Syafi’i, membersihkan hidung dan telinga saat berpuasa tidak membatalkan puasa, asalkan tidak ada sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh secara sengaja. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau bersabda:  

"Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia berbuka (membasuh mulutnya), kemudian berpuasa. Karena sesungguhnya setan meninggalkan sesuatu di lubang hidungnya."* (HR. Muslim no. 1120).  

Hadis ini menunjukkan bahwa membersihkan bagian luar hidung atau telinga bukanlah hal yang membatalkan puasa, selama tidak ada benda yang masuk hingga ke dalam rongga tubuh.

Dalam buku Fikih Puasa Ramadhan karya Dr. Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah Al-Tuwaijri, dijelaskan bahwa membersihkan hidung dan telinga saat berpuasa tidak membatalkan puasa, asalkan tidak ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh. 

Namun, jika ada benda atau cairan yang masuk, maka hukumnya bergantung pada niat dan kesengajaan orang yang berpuasa. Jika terjadi tanpa disengaja, puasanya tetap sah, tetapi jika dilakukan dengan sengaja, maka puasanya bisa batal. Ini menunjukkan betapa pentingnya kehati-hatian dalam menjaga ibadah puasa agar tetap sempurna.

Hukum Berbuka karena Mengira Sudah Magrib

Ustadz Ulul Absor juga menjelaskan hukum berbuka puasa karena menyangka waktu magrib telah masuk. Jika seseorang berbuka tanpa berusaha mencari tahu kepastian waktunya, dan ternyata belum masuk magrib, maka puasanya batal dan wajib diqadha. Namun, jika waktu magrib memang sudah masuk, maka puasanya tetap sah. Pendapat ini sesuai dengan fatwa para ulama yang merujuk pada QS. Al-Baqarah: 187 tentang waktu berbuka puasa.

Para ulama Syafi’iyah menegaskan bahwa kehati-hatian dalam memastikan waktu berbuka puasa sangatlah penting. Jika seseorang berbuka karena mengira matahari telah terbenam, tetapi ternyata belum, maka puasanya batal dan ia wajib menggantinya di lain hari. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, yang menyebutkan bahwa kesalahan dalam memperkirakan waktu maghrib dapat berakibat batalnya puasa.

 إذا أفطر في آخر النهار ظانا غروب الشمس، ثم تبين أنها لم تكن قد غابت بعد بطل صيامه، ووجب عليه القضاء. 

“Ketika seseorang berbuka di akhir sore, karena menyangka bahwa matahari telah terbenam (tiba waktu maghrib). Lalu tampak padanya setelah itu bahwa matahari belum terbenam, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk mengqadha puasa tersebut” (Dr. Mushtafa Said al-Khin dan Dr. Mushtafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 2, hal. 54)

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab,  juga memperkuat pandangan ini dengan menekankan bahwa jika seseorang makan karena menyangka waktu berbuka telah tiba, atau ia makan sebelum fajar dengan anggapan waktu subuh belum masuk, tetapi ternyata sudah, maka puasanya tetap batal. 

ولو أكل ظانا غروب الشمس فبانت طالعة أو ظانا أن الفجر لم يطلع فبان طالعا صار مفطرا هذا هو الصحيح الذي نص عليه الشافعي وقطع به المصنف والجمهور وفيه وجه شاذ أنه لا يفطر  

“Jika seseorang makan karena menyangka matahari telah terbenam. Lalu tampak (padanya) ternyata matahari masih terlihat, atau ia makan karena menyangka fajar belum terbit, namun ternyata telah terbit, maka puasanya menjadi batal. Hukum ini adalah hukum yang sahih dan telah di nash oleh Imam Syafi’i, serta telah dipastikan (kebenarannya) oleh Mushannif (pengarang) dan mayoritas ulama. Namun terdapat pendapat yang syadz (tidak di pertimbangkan) bahwa puasa tersebut tidak batal” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 306)

Pandangan ini menunjukkan bahwa ibadah puasa tidak hanya mengandalkan niat, tetapi juga memerlukan ketelitian dalam memastikan waktu agar tidak terjatuh dalam kesalahan yang dapat membatalkan puasa. Oleh karena itu, seseorang dianjurkan untuk melakukan pengecekan yang cermat sebelum berbuka agar ibadahnya tetap sah dan sempurna.

Kesimpulannya, menurut ulama Syafi’iyah, jika seseorang berbuka puasa karena mengira waktu maghrib telah tiba, tetapi ternyata belum, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha. Hal ini ditegaskan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji dan Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi, yang menyatakan bahwa kesalahan dalam memperkirakan waktu maghrib atau fajar dapat membatalkan puasa jika disertai tindakan yang membatalkannya, seperti makan dan minum. Pendapat ini mencerminkan pentingnya kehati-hatian dalam memastikan waktu berbuka, agar ibadah puasa tetap sah dan diterima.

Memeluk Istri Tidak Membatalkan Puasa

Dalam kajian ini juga dijelaskan bahwa seorang suami yang memeluk istrinya tidak membatalkan puasa, selama tidak menimbulkan keluarnya mani. Ciuman atau pelukan yang tidak menyebabkan keluarnya mani tidak membatalkan puasa. 

Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata bahwa Rasulullah ﷺ tetap mencium dan memeluk istrinya saat berpuasa, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan dirinya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).  

Demikian pula, dalam sebuah riwayat dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah mencium istrinya saat berpuasa, lalu merasa khawatir dan bertanya kepada Nabi ﷺ, "Saya telah melakukan sesuatu yang serius, saya mencium istri saya ketika berpuasa." 

Rasulullah ﷺ pun bertanya kembali, "Bagaimana menurutmu jika seseorang berkumur saat berpuasa?" Umar menjawab, "Itu tidak membatalkan puasa." Maka Nabi ﷺ menimpali, "Kalau begitu, mengapa engkau khawatir?" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Dari hadis ini, dapat disimpulkan bahwa berciuman saat berpuasa tidak membatalkan puasa, selama tidak menimbulkan hal yang lebih jauh seperti keluarnya mani.

Hukum Menggunakan Infus saat Puasa

Ustadz Ulul Absor juga membahas tentang hukum menggunakan infus ketika berpuasa. Menurut mayoritas ulama, infus yang hanya berisi cairan biasa tidak membatalkan puasa. Namun, jika infus tersebut mengandung zat gizi atau diberikan melalui otot dengan tujuan sebagai pengganti makanan, maka sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini membatalkan puasa. 

Pendapat ini didasarkan pada kaidah fiqih yang menyatakan bahwa sesuatu yang berfungsi seperti makan dan minum, hukumnya sama dengan makan dan minum.

Majelis Majma’ Fikih Islami dalam muktamar ke-10 yang diadakan di Jeddah, Arab Saudi, pada 23-28 Shafar 1418 H (28 Juni – 3 Juli 1997 M) membahas berbagai hal yang berkaitan dengan pengobatan dalam kondisi berpuasa. 

Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan makalah-makalah yang diajukan, kajian dan penelitian dari Nadwah Fikih Kedokteran ke-9 yang diselenggarakan oleh Organisasi Islam Ilmu Kedokteran bersama Majma’ serta lembaga lainnya di Maroko pada 9-12 Shafar 1418 H (14-17 Juni 1997 M). 

Setelah mendengarkan diskusi para ulama fikih dan pakar medis serta merujuk pada dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, diputuskan bahwa beberapa tindakan medis berikut tidak membatalkan puasa:  
  1. Pengobatan melalui tetesan dan semprotan: obat tetes mata, telinga, pencuci telinga, obat tetes hidung, dan spray hidung, selama tidak tertelan hingga ke tenggorokan.  
  2. Pil sublingual: tablet yang diletakkan di bawah lidah, seperti obat serangan jantung, asalkan tidak ditelan.  
  3. Pemeriksaan dan tindakan medis melalui vagina atau anus: termasuk penggunaan obat suppositoria, pencuci, kamera medis, atau pemeriksaan dengan jari.  
  4. Pemasangan alat medis di rahim: seperti kamera medis atau KB spiral.  
  5. Pemasukan alat melalui uretra (saluran kemih): seperti selang medis, kamera, foto rontgen, obat-obatan, atau cairan pencuci kandung kemih.  
  6. Perawatan gigi: mencabut, membersihkan, menambal gigi, bersiwak, atau menyikat gigi, selama tidak menelan zat yang masuk ke tenggorokan.  
  7. Berkumur dan terapi uap mulut: selama tidak tertelan hingga tenggorokan.  
  8. Suntikan non-nutrisi: suntikan di kulit, lengan, atau otot yang bukan berupa cairan nutrisi atau suplemen makanan.  
  9. Penggunaan gas: seperti oksigen murni atau gas bius, selama tidak mengandung nutrisi.  
  10. Pengobatan yang diserap kulit: seperti penggunaan minyak, balsem, atau koyo.  
  11. Prosedur medis melalui pembuluh darah: seperti pemasangan selang untuk pemeriksaan atau pengobatan jantung.  
  12. Pemeriksaan dengan kamera medis: baik melalui dinding perut untuk memeriksa usus atau sebagai data sebelum operasi, maupun kamera lambung, selama tidak disertai larutan tambahan.  
  13. Biopsi organ: seperti pengambilan sampel dari hati, selama tidak ada larutan tambahan yang dimasukkan.  
  14. Pemasukan alat ke otak atau tulang belakang: dalam rangka prosedur medis.  
  15. Muntah yang tidak disengaja: berbeda dengan muntah yang disengaja, yang dapat membatalkan puasa.  

Keputusan ini menjadi pedoman bagi umat Muslim agar tetap bisa menjalani ibadah puasa dengan memahami batasan-batasan yang diperbolehkan dalam kondisi medis tertentu.

Hukum Menggunakan Tabung Oksigen saat Puasa

Terakhir, kajian ini membahas hukum penggunaan tabung oksigen saat berpuasa. Penggunaan oksigen murni tidak membatalkan puasa. Namun, jika dalam oksigen tersebut terdapat zat tambahan seperti uap obat atau nutrisi, maka hukumnya bisa membatalkan puasa. Hal ini merujuk pada pendapat beberapa ulama yang menyatakan bahwa memasukkan zat ke dalam tubuh yang memberikan manfaat seperti makanan dapat membatalkan puasa.

Dengan adanya kajian ini, umat Islam diharapkan semakin memahami berbagai hukum seputar puasa, sehingga dapat menjalankannya dengan baik dan sesuai syariat. Ramadan adalah bulan penuh berkah, dan menjalankan ibadah dengan ilmu yang benar akan menambah kesempurnaan ibadah kita. Semoga kita semua diberi kemudahan dalam menjalankan puasa dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda di bulan suci ini. Aamiin.