Senja Ramadan 2025 Hari 8: Menjaga Ketenangan Hati

Genteng - 8 Ramadan 1446 H yang bertepatan dengan 8 Maret 2025 adalah hari terakhir Ustadz Ulul Absor memberikan kuliah singkat di Senja Ramadan, sebelum digantikan oleh pemateri lainnya. Hari ini, beliau menutup kuliahnya dengan beberapa topik menarik, terutama membahas tentang bagaimana menjaga ketenangan hati.

Senja Ramadan 2025 Hari 8: Menjaga Ketenangan Hati

Dari apa yang saya catat dan pahami, ada tiga hal yang menjadi materi dari kajian beliau hari ini, yakni tentang kalimat tauhid dalam syahadat, istighfar, niat dan puasa—melengkap materi dari beberapa hari belakangan ini.

Kalimat Tauhid


Hati yang tenang merupakan anugerah Allah SWT yang tidak tergantikan oleh apa pun, bahkan harta sekalipun. Banyak orang yang kaya harta tetapi tidak memiliki ketenangan hidup sama sekali. Mereka cenderung sering was-was atau bahkan terpenjara oleh kemelekatan atau kehidupan duniawi yang didominasi oleh sifat-sifat naterialistis. Lantas bagaimana cara kita supaya Allah SWT memberikan ketenangan hati? Apakah dengan kuantitas ibadah sebanyak-banyaknya? Atau istigfar tiada henti?

Ada dua hal penting bagi seorang hamba (muslim) yang perlu diperhatikan dari kehidupannya di dunia, yakni bersyahadat (bertauhid) dan beristighfar. Kedua hal ini adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dalam kehidupan kita di dunia. Maka, ketika Allah SWT ridha akan hidup kita, maka kita akan mendapatkan ketenangan hidup yang luar biasa.

Kalimat tauhid meski pendek, namun kekuatannya sangat luar biasa karena mampu merobohkan keseluruhan dosa kita. Misalnya ada seorang mualaf yang mengucapkan syahadat, maka sesungguhnya dosanya yang terdahulu akan terhapuskan, selanjutnya ia harus menjaga agar kemaksiatan itu tidak lagi dilakukannya. Karena syarat sah dari bertobat adalah ia harus menyesali perbuatanya dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.

Dalam salah satu hadits riwayat sahabat Anas disebutkan:

 
Sesungguhnya barang siapa membaca kalimat Tauhid La ilaha Illallah dan memanjangkannya, maka baginya akan dihapus empat ribu macam dosa besar. Para sahabat kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, lalu bagaimana bila satupun ia tidak memiliki dosa besar ? i
Rasulullah menjawab, “Maka yang dihapuskan empat ribu macam dosa besar adalah keluarga dan para tetangganya”.

Hadits Rasulullah saw lainnya menyatakan:

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang membiasakan baca La ilaha Illallah dan dengan berharap karena Allah semata.” ii

Dalam Kitab Kasyifatus Saja (halaman 14), Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan:

“Dan keutamaan-keutamaan kalimat lailaha Illallah itu tidak terhingga seperti halnya sabda Rasulullah saw, siapa yang membaca dzikir lailaha Illallah tiga kali di setiap harinya maka dosa yang dibuatnya setiap hari itu dihapus.” iii

Dari sumber hadist di atas kita bisa belajar bahwa kalimat La ilaha illallah memiliki keutamaan luar biasa dalam menghapus dosa dan mendatangkan rahmat Allah SWT. Hadis-hadis Nabi SAW menunjukkan bahwa membaca dan mengamalkan kalimat tauhid ini dengan penuh keyakinan dapat menghapus dosa-dosa besar, bahkan jika seseorang tidak memiliki dosa besar, keberkahannya dapat meluas kepada keluarga dan tetangganya.

Selain itu, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa orang yang membiasakan membaca La ilaha illallah dengan penuh keikhlasan akan dihindarkan dari siksa neraka. Penjelasan dari Syekh Nawawi Al-Bantani dalam semakin menegaskan bahwa dzikir ini memiliki keutamaan tak terhingga, termasuk penghapusan dosa harian bagi yang mengamalkannya secara rutin. Oleh karena itu, memperbanyak membaca La ilaha illallah adalah amalan ringan yang membawa manfaat besar bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Kalimat Istighfar

Kajian Ustadz Ulul hari ini, juga membahas tentang pentingnya memahami dan mengamalkan istighfar agar memiliki pengaruh baik dalam hidup kita. Beliau menyoroti bahwa kuantitas istighfar yang kita ucapkan tidak akan memiliki pengaruh apa pun dalam hidup kita, jika tidak disertai dengan tobat.

Menurut kajian dari Ustadz Ulul Absor, Istigfar hanyalah sebuah kalimat biasa yang diucapkan secara lisan apabila tidak disertai dengan keinginan hati untuk berhenti melakukan maksiat. Artinya 1 juta kali kita beristighfar, namun jika tidak ada upaya untuk bertaubat dari perbuatan dosa, maka kehidupan kita tidak akan mengalami perubahan menuju kebaikan sama sekali.

Rabiatul Adawiyah adalah seorang sufi perempuan yang dikenal karena ketakwaannya. Pernyataan yang terkenal dari beliau adalah “bahkan istighfar kita perlu untuk di-istighfari.

Ia sering menangis mengingat kekurangannya di hadapan Allah. Jika mendengar tentang neraka, ia bisa pingsan seketika. Dalam tingkatan spiritual menurut Imam Al-Ghazali, Rabiah termasuk khawashul khawash atau kelompok paling istimewa. Jika kebanyakan orang beristighfar untuk dosa, Rabiah beristighfar karena merasa ibadahnya masih belum sempurna. iv

Belakangan ini, mungkin kita sudah tidak asing dengan banyaknya perdebatan yang terjadi, entah itu di kehidupan sehari-hari atau pun di sosial media. Di mana manusia gemar sekali mempermasalahkan hal-hal kecil yang tidak menjadi prioritas kita. Umumnya hal ini dilatarbelakangi oleh cara pikir kita yang selalu merasa benar sendiri, sehingga bagiamana cara kita melihat sudut pandang orang lain selalu salah.

Yang menarik dari kuliah dari Ustadz Ulul Absor kemarin adalah menggarisbawahi bagiamana puasa seseorang tetap sah, namun ia tidak mendapatkan kenikmatan beribadah dan ketenangan hati. Ini yang mungkin sering kita saksikan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Rasanya, kita sudah puasa tapi entah mengapa hidup rasanya gak ada bedanya; masih sumpek dan begitu-begitu saja. Hali ini terjadi karena kita hanya memaknai puasa sebagai aktivitas untuk menahan rasa lapar dan haus saja. Padahal, sejatinya fungsi utama puasa adalah menakhlukkan hawa nafsu.

Sumpeknya jiwa kita, disebabkan oleh niat kita yang tidak tulus dan ikhlas dalam beribadah pada Allah SWT. Meski kita menjalankan banyak bentuk ibadah seperti sholat, puasa, zakat dan haji, namun jika kita masih menyimpan niat bermaksiat dalam hati, maka bentuk ibadah tersebut tidak akan mampu membuat hati kita menjadi tenang.

Misalnya saat siang hari kita sedang melakukan puasa, namun saat itu Allah menguji dengan suatu perkara yang membuat hati kita panas. Alih-alih memadamkan bara dalam hati, kita justru punya niat untuk menunda kemarahan tersebut karena alasan puasa, dan berniat melampiaskan kemarahan itu setelah berbuka puasa.

Situasi yang seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan nyata kan? Nah, sebenarnya puasa kita dianggap sah karena kita menyelesaikannya seharian, namun puasa kita tersebut akan tertolak atau kita tidak akan mendapatkan pahala apa pun, sehingga yang kita dapat hanyalah lapar dan haus saja. 

Berghibah

Contoh lain adalah kebiasaan kita berghibah, di mana menurut beberapa ulama, ghibah itu merupakan dosa besar mengalahkan zina dan khamar.

Kebiasaan buruk ini memang kelihatannya ringan sekali, terutama bagi perempuan, di mana bisa dilakukan setiap hari. Selain itu biasanya melibatkan banyak orang dalam satu sirkel perghibahan. Mengapa ghibah itu dianggap sebagai dosa besar? Karena perbuatan ini bisa merusak kehidupan orang lain dan menimbulkan fitnah. 

Jika diperhatikan, seorang pengghibah biasanya merasa hidupnya selalu benar maka ia akan mencari celah keburukan orang lain untuk diperbincangkan olehnya, yang parahnya lagi, jika mereka tidak menemukan keburukan tersebut, bisa saja seorang pengghibah akan mengada-adakan materi ghibahan agar layak untuk dibahas bersama-sama.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” QS. Al Hujarat 12 v

Berdasarkan Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, karya Syaikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah menyatakan:

“Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang beriman dari banyak berprasangka buruk, yakni mencurigai keluarga, kerabat, dan orang lain dengan tuduhan yang buruk yang bukan pada tempatnya. Karena sesungguhnya sebagian dari hal itu merupakan hal yang dosa, jadi hendaklah hal itu dijauhi secara keseluruhan sebagai pencegahan (dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain) yaitu sebagian kalian terhadap sebagian lain.

Kata “At-tajassus” seringkali digunakan untuk menunjukkan hal buruk, di antaranya adalah “Al-Jasus” (Mata-mata). Adapun kata “At-tahassus” seringkali digunakan untuk menunjukkan kebaikan, sebagaimana Allah SWT yang memberitahukan tentang nabi Ya'qub yang berkata (Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah) (Surah Yusuf: 87

Tetapi, adakalanya lafaz ini digunakan untuk keburukan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah kalian saling memata-matai dan janganlah saling mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah pula saling membenci dan saling menjatuhkan, tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”

Firman Allah SWT: (dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain) Ini larangan menggunjing orang lain. Hal ini ditafsirkan oleh Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa ditanyakan kepada Rasulallah SAW, ”Wahai Rasulullah apakah itu ghibah?” Rasulullah SAW bersabda,”Kamu gunjingkan saudaramu dengan hal-hal yang tidak dia sukai” 

Lalu ditanyakan, "Bagaimanakah jika apa yang dipergunjingkan itu ada padanya?" Rasulullah SAW menjawab: “Jika apa yang kamu pergunjingkan itu ada padanya, maka kamu telah mengumpatnya; dan jika apa yang kamu pergunjingkan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah menghasutnya”

Ghibah itu diharamkan menurut kesepakatan semua ulama, tidak ada pengecualian kecuali hanya terhadap hal-hal yang diyakini kemaslahatannya, sebagaimana tentang “Al-jarh” dan “At-ta'dil” serta dalam hal nasehat.

Sedangkan yang selain dari itu tetap diharamkan dengan keras, dan ada peringatan yang keras terhadap pelakunya. Oleh karena itu Allah SWT menyamakan pelakunya sebagaimana memakan daging manusia yang telah mati.

Sebagaimana Allah SWT berfirman: (Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya) yaitu sebagaimana kalian membenci hal itu secara naluri, maka bencilah perbuatan itu secara syariat, karena sesungguhnya hukumannya lebih keras daripada ini. Ini untuk memunculkan rasa waspada dan peringatan dari hal itu. sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dengan seseorang yang mencabut kembali hibahnya:”seperti anjing yang muntah, lalu memakan kembali muntahannya.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Diharamkan atas setiap muslim harta, kehormatan, dan darah muslim lainnya. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika dia menghina saudaranya yang muslim“

Firman Allah: (Dan bertakwalah kepada Allah) yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah kepada kalian, maka merasalah bahwa kalian berada dalam pengawasanNya dan takutlah kepadaNya (Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang) yaitu Maha Penerima taubat terhadap orang yang mau bertaubat kepadaNya, lagi Maha Penyayang kepada orang yang kembali dan percaya kepadaNya.

Mayoritas ulama berkata bahwa cara bertaubat dari menggunjing orang lain adalah dia bertekad untuk tidak mengulangi perbuatannya. Akan tetapi, apakah disyaratkan menyesali perbuatannya yang telah lalu? Terkait hal itu masih diperselisihkan. Dan hendaknya dia meminta maaf kepada orang yang dia gunjing.

Ulama lainnya berkata bahwa tidak disyaratkan meminta maaf kepada orang yang digunjing, karena apabila dia memberitahu kepadanya apa yang dia lakukan, barangkali hatinya lebih sakit daripada seandainya tidak diberi tahu. Dan cara terbaik adalah hendaknya pelakunya membersihkan nama orang yang dia gunjing di tempat yang tadinya dia mencelanya dan berbalik memujinya. Dan hendaknya dia membela orang yang pernah digunjing dengan segala kemampuan sebagai pelunasan dari apa yang dia lakukan terhadapnya.“ vi

Orang yang mampu menjaga pandangannya dan pendengarannya maka sesungguhnya ia akan mendapatkan ketenangan hati. Ini karena apa yang kita dengar dan lihat bisa mempengaruhi kondisi hati kita yang berpotensi menimbulkan penyakit, entah itu iri, dengki, pendusta, ghadab (pemarah tanpa alasan yang jelas), ujub, takabur, riya’dan suka fitnah. Dalam QS Al Isra’ 36 disebutkan:


“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” ~ QS. Al Isra 36 vii

Dari tafsir di atas kita belajar bahwa bergunjing atau ghibah memiliki dampak merusak yang luar biasa, bahkan Allah SWT dengan khusus mengajarkan kita melalui Al Quran agar tidak melakukannya sama sekali.
 

Melemahkan Hawa Nafsu Dengan Puasa

Masih berdasarkan kajian Ustadz Ulul, bahwa fungsi utama puasa adalah melemahkan hawa nafsu kita. Kuatnya hawa nafsu kita merupakan jalan setan untuk menggoda dan merusak manusia. Dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa suatu ketika iblis meminta para setan untuk mendatang sahabat Rasulullah agar bisa digoda dan dijauhkan kembali dari Allah SWT. 

Sayangnya, iman para sahabat sangat kuat, sehingga setan pun tidak bisa menggoda melalui jalur ibadah. Maka, iblis pun meminta setan untuk bersabar dan menunggu mereka mencintai dunia, karena dengan jatuh cinta pada kehidupan duniawi yang materialistis merupakan cara ampuh untuk menghancurkan kehidupan manusia.

Contoh paling nyata bagaimana kehidupan duniawi mudah membuat setan masuk dan mempengaruhi kita adalah dengan tidak mampu bersyukur dan meremehkan amaliyah kecil. Kita sering menganggap apa yang Allah anugerahkan dalam diri kita ini tidak pernah cukup sehingga kita dikuasai hawa nafsu untuk terus mencari kehidupan duniawi, bahkan dengan cara-cara yang tidak diridhai Allah SWT. Misalnya dengan cara menipu, korupsi, merampok serta perbuatan dosa lainnya.

Itulah mengapa, Allah SWT memerintahkan kita untuk berpuasa, karena puasa bisa melatih kita untuk tetap bersyukur pada hal-hal kecil yang kita dapatkan sehari-hari. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh memanfaatkan kehidupan di dunia dengan optimal, tetapi kita perlu mempertimbangkan niat apa yang kita torehkan dalam setiap aktivitas kita di dunia ini.

Dalam Kitab Minhajul Abidin karya Imam Al Ghazali menyatakan bahwa obat dari penyakit hawa nafsu itu paling sulit diperoleh, hal ini karena hawa nafsu merupakan musuh yang berasal dari dalam diri kita sendiri, yang mempengaruhi secara halus keputusan dan perilaku hidup kita. 

Alasan kedua adalah karena hawa nafsu merupakan musuh yang dicintai (‘aduwwun mahbub). Manusia cenderung buta terhadap aib sesuatu yang dicintainya, bahkan sulit menemukan kecacatan dari apa yang dicintainya. [Imam Al Ghazali, Kitab Minhajul Abidin, 2020, hal. 126] viii

Masih menurut Ustadz Ulul, bahwa kita bisa mengoptimalkan kehidupan di dunia bila kita dunia bisa membuat kita melakukan amalan baik yang diridhai Allah SWT. Namun, jika dunia justru menjauhkan kita dari Allah SWT, maka sebaiknya jangan mencintainya.

Oleh sebab itu, al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa:

إعلم أن الصوم ثلاث درجات صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص: وأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة كما سبق تفصيله، وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام، وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر
 
Artinya, “Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintar dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.” ix

Pemahaman manusia tentang puasa itu bisa dikategorikan dalam 3 jenis, yakni:

  • Puasa biasa: Puasa yang dilakukan hanya untuk menahan nafsu makan dan haus biasa. Puasa inilah yang sering kita lakukan.
  • Puasa khusus: Puasa yang tidak hanya menahan lapar dan haus tetapi juga berusaha keras tidak melakukan dosa.
  • Puasa paling khusus: Puasa yang dilakukan bukan hanya menghindari dosa dan menahan lapar dan haus saja, tetapi juga menjaga hati agar tidak bermaksiat atau berpenyakit.

Orang yang mampu melakukan puasa khusus dan paling khusus maka hatinya akan selalu terjaga dari kemaksiatan dan penyakit. Sehingga, hatinya akan menjadi tenang. Itulah anugerah dari Allah SWT yang paling utama dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
 
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,..” ~ QS. Al Fath Ayat 4. x

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H:

Allah mengabarkan karuniaNya kepada kaum mukminin dengan menurunkan ketenangan di hati mereka, ketenangan itu berupa kedamaian serta ketenangan hati saat musibah menggertarkan serta berbagai hal berat menerpa mereka yang mengusik hati, mengganggu pikiran dan melemahkan jiwa,

Di antara nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya dalam situasi seperti ini adalah dengan keteguhanya dan mengikat keteguhan tersebut di hati mereka dan menurunkan ketenagan agar berbagai beban berat tersebut bisa mereka hadapi dengan hati yang kokoh yang tenang sehingga siap untuk menunaikan perintah Allah pada situasi sulit seperti itu. Dengan perrtolongan seperti itu, keimana mereka semakin bertambah dan keyakinan mereka semakin sempurna.

Para sahabat saat terjadinya peristiwa antara Rasulullah dan kaum musyrik dengan berbagai butir-butir kesepakatan yang nampaknya merendahkan dan meremehkan kemampuan mereka itu, hampir membuat jiwa mereka tidak sabar, tatkala mereka menghadapinya dengan sabar dan mereka menguatkan diri, keimanan merekapun semakin bertambah.

Firman Allah ”Dan kepunyaan Allah-lah langit dan bumi,” yakni, semuanya berada dalam penguasanya, maka jangan sekali-kali orang-orang musrik mengira bahwa Allah tidak akan menolong Agamanya dan NabiNya, Karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dah Maha Bijaksana, yang kebijaksanaanNya mengharuskan adanya pergantian kemenangan diantara manusia serta menunda kemenangan kaum muslimin di waktu lain.” ~ Tafsir QS. Al Fath Ayat 4 xi

Oleh sebab itu, mari kita menjaga hati agar puasa Ramadan yang kita lakukan tahun ini, tidak hanya terpaku pada syarat sah-nya saja atau pun mampu menahan lapar dan haus semata, tetapi juga puasa yang berkualitas, di mana dengan puasa tersebut kita bisa mendapatkan keridhaan dari Allah SWT sehingga kita bisa mendapatkan ketenangan jiwa. Amin!

Referensi: 

  • i Lia fadilasari (ed. Dian Ramadhan). Keutamaan Dzikir Kalimat Tauhid La Ilaha Ilallah. 2024. Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://lampung.nu.or.id/syiar/keutamaan-dzikir-kalimat-tauhid-la-ilaha-ilallah-kzSCr
  • iv Alhafiz Kurniawan, Rabiah Al-Adawiyah, Sufi Perempuan Peletak Dasar Mazhab Cinta. 2020. Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://nu.or.id/hikmah/rabiah-al-adawiyah-sufi-perempuan-peletak-dasar-mazhab-cinta-BScTJ
  • v Tafsirweb. QS. Al Hujarat 12. Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://tafsirweb.com/9782-surat-al-hujurat-ayat-12.html
  • vi Tafsirweb, Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas) / Fathul Karim Mukhtashar Tafsir al-Qur'an al-'Adzhim, QS. Al Hujarat 12, Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://tafsirweb.com/9782-surat-al-hujurat-ayat-12.html
  • viiTafsirweb. QS. Al Isra 36. Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://tafsirweb.com/4640-surat-al-isra-ayat-36.html
  • viii Imam Al Ghazali, Kitab Minhajul Abidin, 2020, Jakarta: Turos.
  • ix Alhafiz Kurniawan. Tiga Jenis Puasa Menurut Imam Al-Ghazali. 2016, Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://nu.or.id/syariah/tiga-jenis-puasa-menurut-imam-al-ghazali-YD0gI
  • x Tafsirweb. QS. Al Fath 4. Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://tafsirweb.com/9716-surat-al-fath-ayat-4.html
  • xi Tafsirweb.. Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H. Diakses pada 9 Maret 2025 dari https://tafsirweb.com/9716-surat-al-fath-ayat-4.html