Senja Ramadan 2025 Hari 7: Panduan Hukum Puasa Yang Perlu Diketahui

Genteng- Memasuki Ramadan ketujuh, Senja Ramadan yang dipandu oleh Ustadz Ulul Absor menambahkan beberapa materi terkait hukum syariat tentang menjalankan ibadah puasa, misalnya tentang seseorang yang mengalami muntah saat berpuasa, apakah ia batal atau tidak. Yang tak kalah penting--terutama bagi perempuan--adalah ketentuan saat mengqadha puasanya. Seperti apa penjelasannya? simak sampai habis, ya? 

Senja Ramadan 2025 Hari 7: Panduan Hukum Puasa Yang Perlu Diketahui

Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat. Dalam praktiknya, ada beberapa perkara yang dapat membatalkan puasa, hal-hal yang disunnahkan, serta beberapa hukum terkait yang telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Berikut ini adalah beberapa pembahasan penting mengenai hukum puasa:

1. Muntah dengan Sengaja Membatalkan Puasa

Dalam Islam, seseorang yang muntah dengan sengaja akan membatalkan puasanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Barang siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak ada kewajiban qadha baginya. Namun, barang siapa yang muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha puasanya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Jika seseorang sengaja memicu muntah, misalnya dengan memasukkan jari ke tenggorokan, maka puasanya batal. Hal ini karena tindakan tersebut menunjukkan niat untuk mengakhiri puasa secara sengaja. Oleh karena itu, orang yang muntah dengan sengaja wajib mengganti puasanya di lain hari.  

Selain itu, jika muntah sudah sampai ke kerongkongan tetapi ditahan lalu ditelan kembali, maka puasanya juga batal karena dianggap menelan sesuatu dengan sengaja. Jadi, jika merasa mual dan hampir muntah, sebaiknya biarkan muntah keluar dan jangan menelannya kembali.

 

2. Epilepsi dan Hukum Puasa

Seseorang yang mengalami epilepsi saat berpuasa perlu meninjau keadaannya. Jika epilepsi tersebut terjadi sepanjang hari dan membuatnya tidak bisa menjalankan puasa dengan sempurna, maka puasanya bisa dianggap batal. Dalam keadaan ini, ia bisa menggantinya di lain waktu atau membayar fidyah jika tidak mampu berpuasa lagi.

Gangguan epilepsi dapat menghambat aktivitas sehari-hari, termasuk bagi umat Islam yang menjalankan ibadah. Penyakit ini telah ada sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, dan salah satu kisah terkenalnya adalah tentang seorang wanita yang menderita epilepsi serta khawatir auratnya tersingkap saat kambuh. 

Wanita tersebut adalah Su’airah al-Asadiyyah, yang juga dikenal sebagai Ummu Zufar. Ia merupakan sosok yang menjaga kehormatannya dengan penuh ketakwaan dan termasuk salah satu wanita penghuni surga di dunia.  

Dalam kitab Shahih Muslim, Atha’ bin Rabbah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata kepadanya, "Maukah aku tunjukkan seorang wanita Habasyah yang berkulit hitam dan berperawakan tinggi besar?" Lalu ia melanjutkan, "Ia adalah Su’airah al-Asadiyyah. 

Suatu hari, ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, 'Wahai Rasulullah, aku menderita epilepsi, dan ketika kambuh, auratku sering tersingkap. Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.' 

Rasulullah ﷺ kemudian bersabda, 'Jika engkau mau, aku akan berdoa agar Allah menyembuhkanmu, dan Allah akan mencatat seluruh amal baik dan burukmu. Namun, jika engkau bersabar, maka surga akan menjadi balasan untukmu.' Su’airah memilih bersabar demi meraih surga. Ia lalu berkata lagi, 'Namun, auratku sering tersingkap, maka berdoalah kepada Allah agar hal itu tidak terjadi.'"

Epilepsi adalah penyakit neurologis yang dapat terjadi pada semua usia dan ditandai dengan kejang berulang akibat pelepasan listrik berlebihan pada neuron otak. 

Menurut WHO, epilepsi merupakan penyakit otak kronis non-menular yang mempengaruhi sekitar 50 juta orang di dunia. Kejang yang terjadi bisa bersifat parsial (sebagian tubuh) atau umum (seluruh tubuh) dan terkadang disertai hilangnya kesadaran serta kontrol fungsi usus atau kandung kemih.  

Banyak penderita epilepsi mengalami kesulitan dalam beribadah ketika serangan terjadi secara tiba-tiba. Oleh karena itu, penelitian ini membahas batasan rukhsah dalam ibadah serta penerapannya bagi penderita epilepsi, dengan tujuan mengetahui bentuk-bentuk keringanan yang dapat diterapkan dalam praktik ibadah mereka. [Muh. Taariq Fauzi dkk, Rukhsah Penderita Epilepsi dalam Pelaksanaan Ibadah, Al Fikrah: Jurnal Kajian Islam [Vol. 1, No. 1 (2024)
 

3. Larangan Membatalkan Puasa saat Qadha

Bagi seseorang yang tengah menjalankan puasa qadha, maka ia tidak boleh membatalkannya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Hal ini karena puasa qadha merupakan kewajiban yang harus disegerakan sebagai pengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)

Seseorang yang telah memulai puasa wajib, seperti qadha Ramadan atau kafarat sumpah, tidak boleh membatalkannya tanpa uzur syar’i seperti sakit atau safar. Jika membatalkannya tanpa alasan yang dibenarkan, ia wajib mengganti puasa tersebut di hari lain, tanpa perlu membayar kafarat, karena kafarat hanya diwajibkan dalam kasus jimak di siang hari bulan Ramadan. 

Para ulama, seperti Ibnu Qudamah dan An-Nawawi, sepakat bahwa puasa wajib tidak boleh dibatalkan sembarangan, dan jika seseorang berjimak dalam puasa selain Ramadan, tidak ada kafarat yang dikenakan menurut pendapat jumhur ulama.  

Menurut fatwa Syekh Ibn Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin, siapa pun yang membatalkan puasa wajib tanpa uzur harus bertaubat dan beristighfar kepada Allah, tetapi cukup mengganti puasanya dengan satu hari tanpa perlu kafarat tambahan. 

Hal ini berlaku baik untuk puasa qadha, nazar, maupun kafarat lainnya. Prinsipnya, jika seseorang telah memulai suatu ibadah wajib, ia harus menyempurnakannya kecuali ada uzur syar’i yang membolehkannya berbuka.
 

4. Menyegerakan Berbuka Puasa

Disunnahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, bahkan lebih utama mendahulukan berbuka daripada sholat jika tidak khawatir tertinggal sholat jamaah atau terganggu konsentrasinya saat sholat karena memikirkan makanan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Orang-orang senantiasa dalam kebaikan ketika mensegerakan berbuka.”

Juga berdasarkan hadits,

أَحَبَّ عبادي الله إلى الله أَعجَلُهم فِطْرًا

“Para hamba Allah yang paling disukai adalah orang yang paling cepat berbuka.”

Yang lebih sempurna bagi orang puasa adalah berbuka dengan kurma kemudian mengakhirkan makan sampai setelah shalat magrib. Agar dapat menggabungkan sunnah bersegera berbuka dan shalat magrib di awal waktu bersama jamaah, meneladani Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
 

5. Urutan Makanan untuk Berbuka

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan urutan makanan yang baik untuk berbuka puasa, yaitu:
 
  • Mengonsumsi kurma atau makanan yang manis
  • Jika tidak ada kurma, maka cukup dengan air putih

Hadis menyebutkan: "Apabila salah seorang di antara kalian berbuka, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Jika tidak ada, maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu suci." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
 

6. Keutamaan Memberikan Takjil

Memberikan takjil bagi orang yang berpuasa memiliki keutamaan besar dalam Islam. Salah satu keutamaannya adalah mendapatkan pahala yang sama seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang tersebut. 

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Zaid bin Khalid Al Juhani, bahwa siapa pun yang memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, ia akan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu sendiri. Hadis ini menunjukkan betapa besar ganjaran bagi mereka yang berbagi makanan untuk berbuka puasa.  

Selain mendapatkan pahala yang berlimpah, orang yang memberi takjil juga mendapatkan doa dari malaikat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah berbuka di rumah Sa’ad bin Mu’adz dan beliau bersabda bahwa orang-orang berpuasa telah berbuka di rumahnya, makanannya dikonsumsi oleh orang-orang baik, dan malaikat turut mendoakan keberkahan baginya. 

Hadis ini menunjukkan bahwa berbagi takjil bukan hanya memberi manfaat bagi orang yang menerima, tetapi juga mendatangkan keberkahan dan doa dari malaikat bagi yang memberi.

7. Lailatul Qadar dan Malam-Malam Terakhir

Menurut para ulama, Lailatul Qadar terjadi pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Imam Syafi’i memiliki dugaan kuat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21 atau ke-23. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat yang menunjukkan tanda-tanda khusus pada malam tersebut.

Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ulama hadits dari mazhab Syafi’i, mencatat dalam Fathul Bari bahwa terdapat 45 pendapat mengenai kapan terjadinya malam Lailatul Qadar. Meskipun banyak perbedaan pendapat, yang paling kuat adalah bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ganjil di 10 malam terakhir Ramadhan, dan setiap tahunnya bisa berbeda. 

Pendapat Imam Syafi’i menekankan bahwa malam yang paling berpotensi adalah tanggal 21 dan 23 Ramadhan, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27 Ramadhan.

 

8. Bekam Saat Berpuasa

Bekam saat berpuasa hukumnya makruh karena dapat menyebabkan tubuh menjadi lemas dan dapat mengganggu kelancaran ibadah puasa seseorang. 

Makruhnya bekam saat berpuasa merupakan pendapat ulama mazhab Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi. Dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadis riwayat Rafi' bin Khudaij, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda, "Batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam," (HR. Tirmidzi). 

Namun, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW justru menyebutkan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, sebagaimana dalam sabdanya, "Tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa: berbekam, muntah, dan mimpi basah," (HR. Tirmidzi dan Baihaqi).  

Meskipun kedua hadis tersebut tampak bertentangan, sebenarnya larangan bekam dalam puasa lebih bersifat kehati-hatian. Nabi SAW melarangnya karena khawatir bekam dapat menyebabkan tubuh menjadi lemas dan berpotensi membatalkan puasa jika seseorang tidak kuat. Namun, bagi mereka yang dalam kondisi sehat dan bugar, bekam tetap diperbolehkan meskipun sebaiknya dihindari. 

Oleh karena itu, berdasarkan pemahaman para ulama, hukum bekam saat puasa Ramadhan adalah makruh karena berisiko mengganggu atau bahkan membatalkan puasa bagi sebagian orang.

Dengan memahami berbagai hukum terkait puasa ini, semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan lebih baik dan sempurna. Wallahu a’lam bish-shawab.

Kontributor : Muhammad Hasya Diandra
Editor: Tim Multimedia