Senja Ramadan 2025 Hari 29: Jenis-Jenis Zakat dalam Kitab Ihya Ulumuddin

Senja Ramadan 2025 Hari ke 29 kali ini masih membahas tentang tema, jika sebelumnya kita membahas referensi zakat dari kitab Ihya Ulumuddin dan Fathul Mu'in serta implementasinya dalam era modern seperti sekarang, kali ini kita akan fokus membahas tentang jenis-jenis zakat berdasarkan Kitab Ihya Ulumuddin Karya Sang Hujattul Islam, Imam Al Ghazali. 

Jenis-Jenis Zakat dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali

Zakat bukan sekadar kewajiban finansial dalam Islam, tetapi juga sebuah sistem sosial yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat. Melalui zakat, Islam mengajarkan bahwa kekayaan bukanlah milik mutlak individu, melainkan terdapat hak orang lain di dalamnya yang harus disalurkan. 

Dengan konsep ini, zakat menjadi instrumen yang tidak hanya menyucikan harta pemiliknya, tetapi juga memastikan bahwa keberkahan rezeki dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang kurang beruntung.  

Zakat merupakan salah satu pilar Islam yang memiliki dimensi spiritual dan sosial. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali membahas enam jenis zakat yang mencakup berbagai bentuk kekayaan, mulai dari binatang ternak hingga hasil pertambangan. Pembagian ini menunjukkan bagaimana Islam mengatur distribusi harta dengan adil agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Dengan memahami lebih dalam konsep zakat menurut Imam Al-Ghazali, kita dapat melihat bahwa kewajiban ini bukan hanya tentang berbagi harta, tetapi juga tentang membangun kehidupan yang lebih berkeadilan dan penuh keberkahan.   

Zakat Binatang Ternak

Zakat binatang ternak diwajibkan bagi pemilik hewan seperti unta, sapi, dan kambing yang digembalakan secara bebas dan telah mencapai jumlah tertentu (nisab). Setidaknya ada 5 syarat seseorang dikenakan wajib zakat: 

  1. Binatang ternak (jelas-jelas diperlihara) >> tidak terkena zakat selain, unta, sapi, kerbau, kambing dan biri-biri.
  2. Digembalakan >> digembalakan di lapangan rumput, maka bila binatang tersebut digembalakan dengan cara diberi makan umpan, tidak dikenakan zakat. Bila binatang tersebut diberi umpan dan juga digembalakan di lapangan rumput, namun lebih banyak di dominasi diberikan umpan-tidak digembalakan-maka tidak dikenakan zakat.
  3. Cukup 1 tahun menjadi miliknya >> Rasulullah bersabda, "tidak diwajibkan zakat pada harta, sehingga sampailah setahun kepadanya." Jika dipertengahan tahun binatang tersebut beranak maka dia harus dizakati sebagai kewajiban pada induknya. Namun, bila binatang itu dipertengahan tahun diberikan atau dijual maka putuslah tahunnya. 
  4. Sempurna miliknya >> Jika binatang tersebut berada dalam pegadaian, maka tetap wajib dizakati karena masih menjadi milik meski dipertaruhkan dalam tanggungannya. Namun, jika binatang tersebut dicuri atau dirampas orang, maka tidak lagi wajib dizakati, kecuali jika kembali lagi ke tangan pemiliknya, maka ia tetap membayar zakat untuk masa lampaunya. Bila sang pemiliki memiliki banyak hutang (yang menghabiskan semua hartanya) maka ia tidak wajib membayar zakat karena dianggap bukan orang kaya.   
  5. Sempurna nisabnya >> Misalnya pada unta tidak diwajibkan untuk dizakati sebelum jumlahnya mencapai 5 ekor.  Nilai zakat yang harus dibayarkan adalah 1 ekor biri-biri yang sudah berumur 1 tahun dan umurnya masuk tahun kedua, atau 1 ekor kambing yang umurnya 2 tahun dan umurnya masuk ke tahun ketiga. Setiap kelipatanya maka jumlah yang dibayarkan juga berubah sesuai dengan berapa banyak ternak yang dimiliki. [Imam Alghazali, Kitab Rahasia Zakat, hal. 689)

Nisabnya berbeda untuk setiap jenis hewan, misalnya untuk kambing dan biri-biri adalah 40 ekor, sementara sapi adalah 30 ekor. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa zakat ini tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban keagamaan, tetapi juga sebagai mekanisme sosial untuk memastikan bahwa kelompok miskin mendapatkan manfaat dari hasil peternakan yang dimiliki orang-orang kaya. 

Dalam sistem Islam, ternak merupakan salah satu bentuk kekayaan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, zakat binatang ternak bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada kelompok tertentu dan memastikan adanya distribusi yang lebih adil. Selain itu, pembayaran zakat ini juga mendorong para peternak untuk mengelola ternaknya dengan bijak dan tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan pribadi. 

Imam Al-Ghazali juga mengingatkan bahwa penolakan untuk menunaikan zakat ternak dapat berdampak buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Dari sisi sosial, penimbunan kekayaan dalam bentuk ternak tanpa berbagi dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Sementara itu, dalam perspektif spiritual, mereka yang enggan membayar zakat ternaknya akan dihisab di akhirat dengan hukuman yang berat. 

Zakat Emas dan Perak

Zakat emas dan perak dikenakan pada mereka yang memiliki simpanan emas selama satu tahun (haul). Kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5% dari total harta tersebut. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa zakat emas dan perak memiliki fungsi penting dalam menyeimbangkan ekonomi, menghindari akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, serta memastikan bahwa kekayaan berputar di masyarakat. 

Emas dan perak adalah simbol kekayaan dan kestabilan ekonomi sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, Islam mengatur penggunaannya agar tidak menjadi alat keserakahan dan ketidakadilan. Imam Al-Ghazali memperingatkan bahwa menimbun emas dan perak tanpa menunaikan zakat dapat menyebabkan rusaknya struktur sosial, di mana kaum miskin semakin terpinggirkan sementara kaum kaya semakin menumpuk harta tanpa kontribusi bagi masyarakat. 

Selain itu, beliau menekankan bahwa zakat emas dan perak tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi. Dengan menunaikan zakat, seseorang akan membersihkan hartanya dari hak orang lain yang tertahan di dalamnya. Harta yang dizakati akan lebih berkah, lebih bermanfaat, dan jauh dari potensi malapetaka yang bisa terjadi akibat ketamakan.  

Zakat Perniagaan

Zakat perniagaan dikenakan pada harta yang diperoleh dari aktivitas perdagangan. Nisabnya sama dengan zakat emas, dengan kadar zakat sebesar 2,5% dari keuntungan bersih setelah mencapai haul. Dibayarkan dalam bentuk uang dari negeri yang bersangkutan karena berdasarkan uang dari negeri itulah, barang perniagaan itu dinilai.  [Imam Alghazali, Kitab Rahasia Zakat, hal. 695)

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa zakat ini berfungsi sebagai pengingat bagi para pedagang bahwa setiap keuntungan yang mereka peroleh harus disertai dengan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.  

Dalam Islam, perdagangan adalah salah satu cara mencari nafkah yang dianjurkan. Namun, perdagangan yang tidak diiringi dengan kejujuran dan kewajiban zakat dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa zakat perniagaan bukan hanya soal membersihkan harta, tetapi juga memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh dalam transaksi bisnis tidak hanya bermanfaat bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat luas.  

Beliau juga mengingatkan bahwa perdagangan yang diberkahi adalah perdagangan yang tidak hanya mengejar keuntungan materi, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual. Pedagang yang menunaikan zakat akan merasakan keberkahan dalam usahanya, serta mendapatkan ketenangan batin karena telah menunaikan hak orang lain atas hartanya.  

Zakat Rikaz dan Ma'din (Harta Karun dan Tambang)

Zakat rikaz dikenakan pada harta karun yang ditemukan, sedangkan zakat ma'din dikenakan pada hasil tambang seperti emas, perak, dan logam mulia lainnya. Imam Al-Ghazali menjelaskan Barang tambang (ma’din) yang wajib dikenakan zakat adalah emas dan perak, sementara jenis tambang lainnya tidak termasuk dalam kewajiban ini. 

Zakatnya dikeluarkan setelah hasil tambang dihancurkan dan dibersihkan, dengan kadar 1/40 menurut pendapat yang lebih kuat. Nishabnya diperhitungkan sebagaimana zakat perniagaan, karena hasil tambang dianggap sebagai bentuk usaha. Namun, dalam hal perhitungan haul (jangka waktu satu tahun), terdapat dua pendapat—salah satunya menyatakan bahwa zakat tambang dikenakan sebesar 1/5 tanpa mensyaratkan haul.  

Pendapat yang lebih berhati-hati menyarankan agar zakat tambang dikeluarkan sebesar 1/5 dari total hasilnya tanpa mempertimbangkan jumlah atau jenis barangnya, baik emas, perak, maupun lainnya. Pendekatan ini bertujuan menghindari keraguan akibat perbedaan pandangan di kalangan ulama. Hal ini karena berbagai pendapat tentang zakat tambang bukan sekadar perbedaan biasa, melainkan perbedaan yang memiliki dasar kuat. Oleh sebab itu, mengambil keputusan dengan keyakinan penuh terhadap salah satu pendapat dapat berisiko jika tidak mempertimbangkan berbagai kemungkinan lainnya.

Penemuan harta karun sering kali membawa godaan besar bagi seseorang untuk menahannya hanya untuk kepentingan pribadi. Namun, Islam mengajarkan bahwa kekayaan yang ditemukan dari sumber daya alam atau peninggalan lama harus didistribusikan dengan adil agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh individu tertentu. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa menunaikan zakat rikaz dan ma'din adalah bentuk pengakuan bahwa kekayaan sejati datang dari Allah dan harus digunakan untuk kebaikan umat.  

Dengan membayar zakat rikaz dan ma'din, seseorang tidak hanya menjalankan kewajiban agama, tetapi juga ikut serta dalam membangun kesejahteraan sosial. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan dibagikan sesuai aturan syariat akan mendatangkan keberkahan, sementara kekayaan yang ditahan secara egois justru dapat menjadi sumber kebinasaan.  

Zakat Al-Mu’asy-syarat (Sepersepuluh dari Hasil Pertanian)

Zakat pertanian diwajibkan sebesar 1/10 dari hasil panen pada tanaman yang menjadi makanan pokok dan mengenyangkan, seperti biji-bijian, kurma kering, dan anggur kering, dengan nisab sebesar 800 mann (alat ukur timbangan). 

Buah-buahan segar dan kapas tidak termasuk dalam kewajiban ini. Zakat hanya dihitung berdasarkan hasil yang telah dikeringkan, bukan dalam keadaan basah. Jika hasil panen berasal dari lahan yang diairi secara alami tanpa biaya, zakatnya adalah 1/10, sedangkan jika memerlukan biaya irigasi, zakatnya menjadi 1/20. Jika metode pengairan campuran digunakan, maka zakat dihitung berdasarkan metode yang lebih dominan.  

Dalam hal kepemilikan bersama, seperti kebun yang diwarisi secara kolektif, nisab dihitung dari total hasil panen yang digabungkan. Jika hasilnya mencapai 800 mann, maka zakat wajib dikeluarkan secara proporsional sesuai kepemilikan masing-masing. Zakat ini wajib ditunaikan setelah hasil panen benar-benar kering dan telah dibersihkan. Pengecualian berlaku jika pohon terserang penyakit sebelum panen sempurna, sehingga hasilnya boleh dipetik lebih awal dan dihitung dengan perbandingan 9:1 antara pemilik dan fakir miskin. 

Waktu wajibnya zakat ini ditentukan ketika buah mulai tampak matang dan biji-bijian mengeras, sementara pembayaran zakatnya dilakukan setelah hasil panen dikeringkan. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hasil bumi merupakan karunia Allah yang harus dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang. 

Dengan membayar zakat pertanian, seorang petani tidak hanya memastikan keberkahan hasil panennya, tetapi juga membantu menciptakan keseimbangan sosial. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa tanah yang subur adalah amanah yang harus dikelola dengan baik, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kesejahteraan bersama.   

Zakat Fitrah

Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap Muslim sebelum Hari Raya Idulfitri. Besarannya adalah satu sha' (sekitar 2,5 kg) dari makanan pokok seperti beras atau gandum, yang diberikan kepada fakir miskin. 

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa zakat fitrah bertujuan untuk menyucikan jiwa dari kekurangan selama Ramadan, sekaligus memastikan bahwa setiap Muslim dapat merasakan kebahagiaan pada hari kemenangan.  

Selain sebagai bentuk kepedulian sosial, zakat fitrah juga berfungsi sebagai penyempurna ibadah puasa. Imam Al-Ghazali menyoroti bahwa puasa Ramadan bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi juga soal membangun kesadaran sosial. 

Dengan membayar zakat fitrah, seorang Muslim menunjukkan rasa syukur atas nikmat Ramadan serta membantu mereka yang kurang mampu agar dapat menikmati hari raya dengan penuh kebahagiaan. 

Imam Al-Ghazali juga mengingatkan bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan tepat waktu, yaitu sebelum pelaksanaan shalat Idulfitri. Jika ditunda, maka zakat tersebut tidak lagi dianggap sebagai zakat fitrah, melainkan hanya sedekah biasa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ketepatan waktu dalam menunaikan kewajiban zakat agar manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal oleh mereka yang membutuhkan.  

Nah, jangan lupa untuk membayar zakat fitrah tahun ini ya? Agar setiap harta yang kita miliki menjadi suci dan berkah, serta tidak bercampur dengan hak orang lain. Semoga kita semua bisa mendapatkan rezeki yang baik, bersih dan membawa keberkahan. Amin Allahuma Amin.

Referensi