Senja Ramadan di Masjid Besar Baiturrahman Genteng selalu menjadi momen perenungan dan kebersamaan. Di penghujung bulan suci ini, kita menutup perjalanan spiritual dengan amalan yang melengkapi kesempurnaan ibadah, yaitu zakat.
Sebagai bagian dari rukun Islam, zakat bukan sekadar kewajiban materi, tetapi juga simbol kepedulian sosial dan penyucian diri. Dalam kesempatan terakhir di Senja Ramadan 2025 ini, kita akan menelaah makna zakat melalui perspektif kitab Fathul Mu’in, salah satu kitab fikih klasik yang menjadi rujukan utama dalam madzhab Syafi’i.
Senja Ramadan 2025 Hari 30: Jenis-Jenis Zakat Berdasarkan Fathul Mu'in
Kitab Fathul Mu’in menjelaskan bahwa zakat memiliki dimensi ibadah dan sosial yang tak terpisahkan. Zakat bukan hanya kewajiban bagi yang mampu, tetapi juga hak bagi mereka yang berhak menerimanya.
Berbeda dengan Kitab Ihya Ulumuddin yang mengklasifikasi jenis zakat menjadi 6 bagian, Dalam kitab ini hanya difokuskan pada 2 jenis saja, yakni Zakat Mal dan Zakat Fitrah. Meski begitu, dalam kitab ini dijelaskan juga tentang syarat, ketentuan, serta hikmah dari zakat yang bertujuan untuk membersihkan harta dan menumbuhkan solidaritas umat. Maka, di malam terakhir Ramadan ini, kita renungkan kembali makna zakat sebagai bekal menuju Idulfitri, hari kemenangan yang sejati.
Zakat Mal
Zakat mal merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan telah mencapai haul (satu tahun kepemilikan). Zakat ini mencakup berbagai jenis harta, seperti emas, perak, uang simpanan, hasil perdagangan, hasil pertanian, hingga aset investasi. Tujuan utama dari zakat mal adalah untuk menyucikan harta dan membantu meringankan beban mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, orang yang berutang, serta mereka yang berjuang di jalan Allah.
Dalam Islam, nisab zakat mal ditentukan berdasarkan kadar 85 gram emas. Artinya, seseorang yang memiliki harta senilai atau melebihi nisab tersebut wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari total harta yang tersimpan selama satu tahun. Perhitungan ini dilakukan untuk memastikan bahwa harta yang dimiliki tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi juga tersebar kepada mereka yang membutuhkan.
Salah satu hikmah zakat mal adalah menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dengan adanya zakat, kesenjangan antara si kaya dan si miskin dapat dikurangi, sehingga tercipta kehidupan yang lebih harmonis. Selain itu, zakat juga mengajarkan nilai-nilai kepedulian dan tanggung jawab sosial, karena setiap Muslim diajak untuk peduli terhadap sesama.
Di era modern, zakat mal dapat dikelola melalui lembaga-lembaga zakat yang terpercaya. Banyak lembaga zakat telah memanfaatkan teknologi digital untuk mempermudah pembayaran dan penyaluran zakat secara transparan. Hal ini membantu umat Islam dalam menunaikan kewajiban mereka dengan lebih mudah dan efisien.
Sebagai rukun Islam yang ketiga, zakat mal tidak hanya menjadi bentuk ibadah, tetapi juga sebagai sarana pemerataan ekonomi yang adil. Oleh karena itu, memahami dan menunaikan zakat mal dengan penuh kesadaran akan membantu menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi seluruh umat.
Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah kewajiban yang ditetapkan pada tahun ke-2 Hijriah, bersamaan dengan difardukannya puasa Ramadan, Zakat ini disebut "fitrah" karena diwajibkan bagi setiap Muslim yang telah berbuka puasa pada akhir Ramadan.
Imam Waqi’ menyatakan bahwa zakat fitrah memiliki peran seperti sujud sahwi dalam salat, yaitu untuk menyempurnakan dan menutupi kekurangan ibadah puasa, sebagaimana ditegaskan dalam hadis sahih. Oleh karena itu, zakat fitrah bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dalam membersihkan jiwa dari perbuatan sia-sia selama Ramadan.
Kewajiban membayar zakat fitrah berlaku bagi setiap Muslim yang merdeka dan memiliki kelebihan harta di malam Idul Fitri. Namun, zakat ini tidak wajib bagi budak, kecuali ditanggung oleh tuannya.
Begitu pula, seorang istri tidak berkewajiban membayar zakat fitrah, kecuali jika ia adalah seorang wanita merdeka yang memiliki harta sendiri. Kewajiban zakat fitrah mulai berlaku saat matahari terbenam di akhir Ramadan dan tetap wajib, meskipun seseorang meninggal dunia setelah waktu tersebut. Sebaliknya, mereka yang baru lahir atau masuk Islam setelah matahari terbenam tidak terkena kewajiban ini.
Pembayaran zakat fitrah harus dilakukan sebelum matahari terbenam pada hari Idul Fitri. Waktu yang paling utama adalah sebelum salat Id, sementara menunda pembayaran hingga setelah hari raya tanpa uzur dianggap haram. Jika seseorang menunda tanpa alasan yang sah, ia wajib mengqadha zakatnya sesegera mungkin.
Dalam keadaan tertentu, seperti menunggu kerabat yang berhak menerima zakat, diperbolehkan menunda hingga menjelang matahari terbenam pada hari raya. Selain itu, pembayaran zakat fitrah dapat diajukan sejak awal Ramadan, sebagaimana yang dianjurkan dalam beberapa pendapat ulama.
Besaran zakat fitrah adalah satu sha’ (sekitar 2,4 kg) dari makanan pokok yang umum di suatu daerah. Zakat ini harus berupa makanan pokok seperti beras, gandum, atau kurma, bukan dalam bentuk uang atau barang lain yang tidak sesuai ketentuan.
Zakat fitrah juga tidak dianggap sah jika diberikan dalam kondisi yang cacat, rusak, atau tidak layak konsumsi. Namun, jika tidak tersedia makanan pokok dalam keadaan kering, diperbolehkan memberikan makanan yang basah selama masih layak dikonsumsi dan tidak mudah rusak.
Zakat fitrah harus diberikan kepada fakir miskin di daerah tempat seseorang tinggal. Jika seseorang tidak mengetahui daerah asalnya, ada beberapa pendapat mengenai kewajiban pembayaran zakat fitrah. Namun, prinsip dasarnya adalah zakat ini bertujuan untuk membantu mereka yang membutuhkan pada hari raya, agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan Idul Fitri. Oleh karena itu, zakat fitrah tidak hanya menjadi ibadah wajib, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas sosial bagi umat Islam dalam menutup bulan Ramadan dengan berbagi rezeki kepada yang berhak.
Pasal Pembayaran Zakat
Zakat wajib dibayarkan segera setelah seseorang memiliki kemampuan, tanpa terhalang oleh utang, baik kepada Allah (seperti kafarat) maupun kepada manusia. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa kewajiban zakat tetap berlaku meskipun seseorang memiliki utang yang mengurangi nisabnya. Bahkan, harta anak kecil pun wajib dikeluarkan zakatnya karena kebutuhan para mustahik (penerima zakat) bersifat mendesak.
Jika seseorang menunda pembayaran zakat tanpa alasan yang sah, ia berdosa dan wajib mengganti jika terjadi kerusakan pada harta zakat tersebut. Namun, jika penundaan bertujuan menunggu kerabat atau orang yang lebih membutuhkan, hal itu diperbolehkan tetapi tetap harus bertanggung jawab atas keutuhannya.
Kemampuan membayar zakat (tamakkun) terjadi ketika seseorang memiliki akses terhadap hartanya, baik dalam bentuk tunai maupun aset yang dapat dijangkau. Jika harta berada di tempat yang sulit dijangkau, kewajiban zakat tetap ada tetapi pembayaran ditangguhkan hingga harta tersebut bisa diperoleh. Jika mustahik sudah hadir, maka zakat harus segera diberikan, dan jika harta tersebut rusak karena kelalaian, wajib diganti.
Dalam kasus piutang, zakat tetap wajib dibayarkan jika pengutang adalah orang kaya dan mampu membayar. Namun, jika piutang sulit ditagih karena pengutang miskin atau mengingkari utang, zakatnya ditangguhkan hingga piutang diterima.
Zakat juga wajib dikeluarkan dari mahar yang diberikan suami kepada istri jika jumlahnya mencapai nisab dan telah berlalu satu tahun (haul). Kewajiban ini berlaku meskipun istri belum menerima mahar atau belum dijimak. Jika mahar masih dalam tanggungan suami, maka zakatnya hanya wajib jika suami dalam kondisi kaya dan mampu membayarnya.
Dalam transaksi, zakat dianggap sebagai bagian dari harta yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum akad jual beli atau gadai. Oleh karena itu, akad yang mencakup jumlah zakat dalam harta tertentu dianggap tidak sah. Namun, dalam harta perdagangan, zakat tetap dapat dikeluarkan meskipun transaksi telah dilakukan.
Dalam hal warisan, pembayaran zakat harus diprioritaskan sebelum melunasi utang kepada manusia, jika harta peninggalan tidak mencukupi untuk membayar semua kewajiban. Jika harta tersebut mencakup hak Allah seperti zakat, kafarat, atau nazar, maka zakat harus dibayarkan terlebih dahulu, terutama jika masih berupa harta tunai yang mencapai nisab.
Namun, jika harta telah rusak setelah kewajiban zakat muncul, maka pembagiannya dilakukan secara adil antara zakat dan kewajiban lainnya. Dengan demikian, zakat bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas dalam pemenuhan hak-hak umat Islam yang membutuhkan.
Syarat Menunaikan Zakat
Menunaikan zakat memiliki dua syarat utama, yaitu niat dalam hati tanpa harus diucapkan, serta memastikan bahwa harta yang dizakatkan benar-benar memenuhi kriteria zakat. Niat harus jelas, seperti menyebut bahwa harta tersebut adalah zakat atau sedekah fardu. Jika seseorang berniat tetapi tidak memastikan apakah harta yang dikeluarkan sebagai zakat masih ada atau telah rusak, maka zakatnya tetap sah selama ada ketegasan dalam niatnya.
Selain itu, apabila seseorang ragu apakah telah menunaikan zakat atau belum, ia dapat mengeluarkan harta dengan niat bahwa jika masih ada tanggungan, maka itu menjadi zakat, dan jika tidak, maka menjadi sedekah sunnah.
Zakat tidak sah jika diberikan kepada mustahik (penerima zakat) tanpa adanya niat dari pemberi. Niat ini dapat dilakukan sebelum penyerahan, saat pemisahan harta, atau ketika menyerahkannya kepada wakil atau imam yang akan mendistribusikan zakat.
Para wakil atau imam yang bertugas membagikan zakat juga sebaiknya berniat dalam prosesnya. Jika seseorang meminta orang lain untuk menyedekahkan hartanya tanpa terlebih dahulu berniat zakat, maka harta tersebut tidak dapat dianggap sebagai zakat.
Dalam menyalurkan zakat, seseorang dapat mewakilkan kepada orang lain, termasuk orang non-Muslim atau anak kecil, tetapi mereka tidak dapat menggantikan niat si pemilik harta. Oleh karena itu, pemilik harta tetap harus berniat sendiri atau menyerahkan niatnya kepada wakil yang memenuhi syarat.
Imam juga dapat berniat untuk zakat seseorang jika harta tersebut diambil paksa dari mereka yang enggan membayar zakat. Jika zakat diberikan sebelum masa haul (periode satu tahun) selesai, hukumnya diperbolehkan dalam beberapa kondisi, terutama jika untuk zakat fitrah dan perdagangan.
Zakat wajib diberikan kepada delapan golongan yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang berutang (gharim), sabilillah (pejuang Islam), dan ibnus sabil (musafir yang kehabisan bekal).
Fakir dan miskin dibedakan berdasarkan tingkat kebutuhan mereka, di mana fakir tidak memiliki sumber penghasilan yang cukup, sementara miskin memiliki penghasilan tetapi masih kurang. Golongan lain seperti amil, muallaf, dan ibnus sabil memiliki kriteria khusus sesuai dengan kebutuhan mereka dalam menerima zakat.
Dalam praktiknya, zakat tidak boleh digunakan untuk membayar utang seseorang secara langsung tanpa niat zakat dari pemberi. Zakat juga tidak boleh disalurkan kepada orang kaya, keluarga Rasulullah (Bani Hasyim), atau orang yang masih memiliki status perbudakan.
Selain itu, zakat harus dibagikan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan yang berhak menerimanya. Jika seseorang memberikan zakat kepada dua orang dari suatu golongan padahal ada orang ketiga, maka ia harus menutupi kekurangannya. Zakat juga tidak boleh dipindahkan ke daerah lain kecuali dalam kondisi darurat.
Yuk! Jemaah yang beriman dan bertakwa, jangan tunda lagi! Bagi yang belum menunaikan zakat, segeralah datang ke Masjid Besar Baiturrahman Genteng malam ini juga. Jangan sampai melewatkan kewajiban ini, karena jika tertunda hingga besok setelah salat Idulfitri, zakat yang seharusnya wajib hanya menjadi sedekah biasa. Gunakan kesempatan terakhir di Senja Ramadan ini untuk membersihkan harta dan menyempurnakan ibadah kita. Datang sekarang, tunaikan zakat, dan raih keberkahan Idulfitri dengan hati yang bersih!
0 Comments