Genteng - Senja Ramadan ke-23 masih diisi oleh Ustadz Ainurraziqin dengan tema tentang kisah Nabi Ibrahim yang belajar untuk selalu berprasangka baik. Selain itu, kegiatan hari ini bertepatan dengan Acara Santunan Anak Yatim yang dilakukan oleh Badan Penyantun Anak Yatim [BPAY] Masjid Besar Baiturrahman Genteng.
Senja Ramadan 2025 Hari 23: Melepas Prasangka, Meneladani Kisah Nabi Ibrahim
Ustadz Ainurraziqin kembali mengisi kuliah singkat di hari ramadan ke-23. Bila kemarin beliau fokus membahas tentang dosa dan pengampunan, hari ini beliau mengajarkan tentang karakter baik yang diteladani dari kisah tentang Nabi Ibrahim.
![]() |
Ustadz Ainurraziqin sedang memberikan Kuliah Senja Ramadan ke-23 |
Nabi Ibrahim AS adalah sosok yang dikenal dengan keikhlasan dan keteguhan imannya kepada Allah SWT. Salah satu ujian terbesar dalam hidupnya adalah ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Nah, apa sih hikmah yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim?
Husnudzon
Ujian ini bukan hanya menguji kepatuhan Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah, tetapi juga mengajarkan umat manusia tentang pentingnya husnudzon (berprasangka baik) kepada Allah dan kepada sesama manusia. Dari kisah ini, kita belajar bahwa keikhlasan dan prasangka baik akan membawa kita kepada kebaikan dan keberkahan dalam hidup.
Ketika Nabi Ibrahim menerima wahyu untuk mengorbankan putranya, ia tidak meragukan perintah Allah. Ia tidak mempertanyakan keadilan atau hikmah di balik perintah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim memiliki keyakinan penuh bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
۞ وَإِذِ ٱبْتَلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّى جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِى ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى ٱلظَّٰلِمِينَ
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". ~ (QS. Al-Baqarah: 124)
Berdasarkan Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 mengatakan Allah Ta’ala menguji Nabi Ibrahim AS dengan berbagai perintah dan larangan untuk membedakan orang yang jujur dan tegar dalam ujian dari mereka yang lemah.
Nabi Ibrahim berhasil menyempurnakan ujian tersebut dengan penuh keikhlasan, sehingga Allah mengangkatnya sebagai imam bagi seluruh manusia. Kedudukannya yang mulia menjadi teladan bagi umat-umat setelahnya, dan ia mendapatkan pujian serta balasan yang sempurna atas keteguhan dan ketaatannya kepada Allah.
Dalam kebahagiaannya atas derajat yang tinggi ini, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar kepemimpinan dalam agama juga diberikan kepada keturunannya. Permohonan ini menunjukkan kecintaan dan kepeduliannya terhadap umat manusia, agar semakin banyak orang yang menyeru kepada petunjuk Allah. Namun, Allah menegaskan bahwa janji kepemimpinan ini tidak diberikan kepada orang-orang yang zalim, melainkan hanya kepada mereka yang beriman, bersabar, dan beramal saleh dengan keikhlasan yang sempurna.
Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa hanya mereka yang memiliki kesabaran dan keyakinan kuat yang akan mencapai kepemimpinan dalam agama. Sifat-sifat seperti keimanan yang kokoh, akhlak yang luhur, dan ketakwaan menjadi syarat utama untuk memperoleh kedudukan tersebut. Sebaliknya, orang-orang yang menzalimi diri sendiri dengan kejahatan dan kesesatan tidak akan mendapatkan kemuliaan ini. Hal ini mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati dalam Islam bukan didasarkan pada status duniawi, tetapi pada ketakwaan dan keteguhan hati dalam menjalankan perintah Allah.
Keikhlasan
Tidak hanya Nabi Ibrahim, Nabi Ismail juga menunjukkan keteguhan iman dan husnudzon yang luar biasa. Ketika ayahnya menyampaikan Allah, Nabi Ismail tidak menolak atau memberontak, tetapi dengan penuh ketundukan berkata:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" ~ (QS. As-Saffat: 102).
Berdasarkan Tafsir Kementrian Agama RI, ayat ini bermakna, ketika Nabi Ismail telah mencapai usia mampu berusaha bersama ayahnya, Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah yang ia terima dalam mimpi untuk menyembelih putranya. Dengan penuh kepasrahan dan ketaatan, Nabi Ismail menerima perintah tersebut dan meyakinkan ayahnya bahwa ia akan bersabar. Saat keduanya telah berserah diri,
Nabi Ibrahim membaringkan anaknya agar tidak melihat wajahnya demi menjaga keteguhan hati. Namun, ketika ia hendak menyembelih, Allah menghentikannya dan menyatakan bahwa ia telah membenarkan perintah tersebut. Ujian ini menunjukkan tingkat keimanan dan kepasrahan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, serta menjadi pelajaran tentang kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Keikhlasan dan prasangka baik Nabi Ismail kepada ayahnya dan kepada Allah membuktikan bahwa iman yang kokoh akan menghilangkan rasa takut dan prasangka buruk.
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam hidup, sering kali kita diuji dengan berbagai cobaan yang tampaknya sulit dipahami. Namun, jika kita mampu melepas prasangka buruk dan menggantinya dengan husnudzon, maka kita akan menemukan hikmah besar di balik setiap ujian. Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk kasih sayang-Nya, membuktikan bahwa keikhlasan akan selalu dibalas dengan keberkahan.
Dalam kehidupan sosial, kita juga sering kali terjebak dalam prasangka terhadap orang lain. Kita menilai seseorang berdasarkan status sosial, latar belakang, atau hal-hal lahiriah lainnya. Padahal, Islam mengajarkan bahwa yang membedakan manusia bukanlah hartanya, tetapi ketakwaannya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13: "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."
Oleh karena itu, kita harus belajar untuk tidak membandingkan manusia dari sisi duniawinya, tetapi melihat mereka dengan hati yang penuh keikhlasan dan prasangka baik.
Sering kali prasangka buruk muncul karena kurangnya pemahaman dan komunikasi. Nabi Ibrahim tidak meragukan kebijaksanaan Allah karena ia memahami bahwa segala sesuatu yang datang dari-Nya pasti memiliki kebaikan.
Manusia Menilai Penampilan, Allah Menilai Hati
Begitu pula dalam hubungan antar manusia, kita harus berusaha memahami sebelum menilai, mendengar sebelum berasumsi, dan bersikap adil dalam setiap penilaian. Dengan cara ini, kita akan terhindar dari prasangka yang tidak berdasar dan menjaga hati kita tetap bersih.
Meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim juga berarti belajar untuk menerima takdir dengan hati yang lapang. Dalam kehidupan, kita mungkin mengalami hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita, tetapi jika kita mampu melepas prasangka buruk dan menggantinya dengan keikhlasan, maka kita akan lebih mudah menerima segala ketentuan Allah. Sikap ini tidak hanya membuat hati lebih tenang, tetapi juga mendekatkan kita kepada Allah dan membuka pintu-pintu kebaikan yang mungkin sebelumnya tidak kita sadari.
Sebagai umat Muslim, sudah seharusnya kita meneladani sikap Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam kehidupan sehari-hari. Husnudzon kepada Allah akan membuat kita lebih tenang dalam menghadapi ujian hidup, sedangkan husnudzon kepada sesama akan menjadikan kita pribadi yang lebih bijak dan penuh kasih. Dengan melepas prasangka dan menumbuhkan keikhlasan dalam hati, kita tidak hanya memperbaiki hubungan dengan sesama, tetapi juga semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
0 Comments