Hari ini, Senja Ramadan masuk di hari ke 27 yang diisi oleh Ustadz Abidzar Al Hasan. Kali ini beliau fokus membahas tentang sunah-sunah dalam bulan Ramadan berdasarkan kitab Fathul Mu'in. Salah satunya adalah tentang pentingnya Lailatul Qadar dan bagaimana kita mengisinya.
Senja Ramadan 2025 Hari 27: Keutamaan Lailatul Qadar
Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan dan keistimewaan bagi umat Islam. Di dalamnya, Allah membuka pintu rahmat, mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, serta melipatgandakan pahala setiap amal kebaikan. Ramadan juga menjadi waktu bagi kaum Muslimin untuk meningkatkan ketakwaan melalui ibadah puasa, shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan berbagai amal shalih lainnya.
Keistimewaan terbesar dalam bulan ini adalah hadirnya Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, yang menjadi kesempatan luar biasa bagi setiap hamba untuk meraih ampunan dan kemuliaan di sisi Allah. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan agar mendapatkan keberkahan yang melimpah.
Sunah-Sunah dalam Puasa Ramadan
![]() |
Ustadz Abidzar Al Hasan menyampaikan Kuliah Senja Ramadan ke 27 |
Selain itu, menjaga pahala puasa dengan menghindari hal-hal yang dapat menguranginya juga sangat penting. Ini termasuk menjauhi makanan syubhat, tidak berlebihan dalam mengikuti hawa nafsu, serta menjaga lisan dari perkataan haram seperti dusta dan ghibah. Jika seseorang dimaki saat berpuasa, dianjurkan menahan diri dan cukup mengatakan, “Sungguh aku sedang berpuasa.”
Bab tentang puasa, juga sudah dibahas dalam Kuliah Senja Ramadan sebelumnya, di antaranya Keistimewaan Puasa, Fikih Tentang Puasa, Memahami Hukum Puasa Dengan Ilmu, Syarat Sah Puasa, dan juga pembahasan singkat pada bab-bab lainnya.
Keistimewaan Lailatul Qadar dalam Islam
Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Qadr. Pada malam ini, para malaikat turun ke bumi untuk membawa rahmat dan keberkahan Allah. Kitab Fathul Mu’in menjelaskan bahwa tanda-tanda Lailatul Qadar meliputi ketenangan malam, cuaca yang sejuk, serta suasana alam yang berbeda dari biasanya. Namun, tanda-tanda ini bukan patokan utama, melainkan sebagai dorongan untuk memperbanyak ibadah di seluruh sepuluh malam terakhir Ramadan.
Selain dalam Fathul Mu’in, keutamaan Lailatul Qadar juga dijelaskan dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah Al-Qadr. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadr: 1-5)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar, para malaikat turun ke bumi untuk menyampaikan rahmat dan berkah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beribadah. Turunnya malaikat ini menunjukkan bahwa malam ini dipenuhi dengan kedamaian dan keberkahan yang luar biasa.
Dalam tasawuf, Lailatul Qadar dipahami sebagai momen penyucian diri yang mendalam. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadar dengan hati yang bersih akan merasakan kedamaian luar biasa sebelum fajar tiba. Oleh karena itu, para sufi menekankan pentingnya mengosongkan hati dari dunia dan fokus beribadah di malam-malam terakhir Ramadan.
Meraih Keberkahan di Sepuluh Malam Terakhir
Di sepuluh hari terakhir Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah seperti shalat malam, membaca Al-Qur'an, berzikir, dan berdoa. Iktikaf menjadi salah satu ibadah yang sangat dianjurkan, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ï·º.
Menurut Mazhab Syafi'i, Lailatul Qadar biasanya turun di malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir Ramadan, dengan kemungkinan terbesar pada malam ke-27.
Dalam kitab Fathul Mu'in, Iktikaf adalah ibadah sunnah yang dapat dilakukan kapan saja dengan cara berdiam diri di dalam masjid dalam waktu yang lebih lama dari thuma’ninah dalam shalat, dengan niat iktikaf. Seseorang dapat melakukan iktikaf baik dengan diam di tempat maupun berjalan di dalam masjid. Jika seseorang keluar dari masjid tanpa niat untuk kembali, maka ia harus memperbarui niatnya ketika ingin beriktikaf lagi. Namun, jika ia keluar dengan niat untuk kembali, seperti ke kamar kecil, maka ia tidak perlu memperbarui niatnya.
Orang yang berniat iktikaf secara berturut-turut dalam jangka waktu tertentu tetap diperbolehkan keluar untuk keperluan mendesak seperti buang hajat, mandi janabah, atau mencuci najis, meskipun hal-hal ini bisa dilakukan di dalam masjid.
Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan masjid dan harga diri orang yang beriktikaf. Namun, keluar dari masjid hanya untuk wudu atau mandi sunnah tanpa keperluan mendesak tidak diperbolehkan karena dapat memutus kesinambungan iktikaf. Jika tempat buang hajat terdekat tersedia dan layak, maka keluar ke tempat yang lebih jauh dianggap memutus iktikaf.
Bagi orang yang melakukan iktikaf secara terus-menerus, ia boleh keluar dari masjid untuk keperluan tertentu yang telah dikecualikan, seperti menemui pejabat, menjenguk orang sakit, atau menghadiri takziah. Bahkan, jika seseorang telah bernazar iktikaf secara berturut-turut namun memberi syarat bahwa ia boleh keluar untuk keperluan tertentu, maka nazarnya tetap sah. Namun, keluar untuk keperluan pribadi tanpa ada ketentuan sebelumnya dapat membatalkan kesinambungan iktikaf.
Iktikaf dapat batal jika seseorang melakukan hubungan suami istri, meskipun dalam keadaan tertentu seperti ketika keluar untuk buang hajat. Selain itu, keluarnya mani akibat sentuhan dengan syahwat, seperti berciuman, juga membatalkan iktikaf. Terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah lebih utama tetap berada dalam masjid atau keluar untuk menjenguk orang sakit.
Imam Al-Bulqini berpendapat bahwa keluar untuk menjenguk kerabat dan teman dekat lebih utama, sedangkan Imam Ibnush Shalah memilih tetap berada dalam masjid, sebagaimana Rasulullah ï·º yang tidak keluar dari iktikafnya untuk hal-hal tersebut.
Untuk meraih keberkahan malam tersebut, Rasulullah ï·º mengajarkan doa: "Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni." (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku).
Dengan memperbanyak ibadah dan doa di malam-malam terakhir Ramadan, umat Islam diharapkan dapat memperoleh kemuliaan dan keberkahan Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.
0 Comments